Oleh: Taufik Hidayah Mahasiswa INAIFAS Kencong Jember Jatim
PEMBAHASAN
Prolog
Suatu hal yang tidak bisa lepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk digerus oleh zaman dengan segala inofasinya. Oleh karenanya banyak pakar, baik tingkat lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan objek kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.
Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan Dunia Muslim, adalah tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam separti pesantren yang mampu bertahan di samping karena modelnya, juga karena sifat ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj (metodologi) yang terkesan apa adanya, hubungan Kyai dan Santri serta keadaan fisik yang serba sederhana.
Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial, dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu masih tetap dirasakan.
Di tengah gagalnya sebagian sistem pendidikan dewasa ini, ada baiknya kita mengulas kembali sistem pendidikan pesantren. Keintegrasian antara ilmu etika dan pengetahuan yang pernah dicanangkan pesantren perlu mendapat perhatian, sehingga paling tidak mengurangi apa yang menjadi hiruk pikuk di tengah-tengah pelajar dan pemuda kita: Tawuran. Sehingga pada tulisan ini akan coba kami ungkap bagaimana lahirnya pondok pesantren, baik dari sejak masa Rasululloh SAW, Sahabat, hingga awal perkembangannya di Indonesia.
Kajian Historis Pada Awal Kepemimpinan Rasululloh SAW
Dalam sebuah tesis yang yang ditulis oleh Yakhsyallah Mansur yang kemudian dibukukan dengan judul “Ash-Shuffah pusat pendidikan Islam pertama yang didirikan dan diasuh Nabi Muhammad SAW”, memberikan beberapa teori baru tentang lembaga pendidikan Islam yang kita kenal dengan pesantren.
Selama ini, Pesantren yang berasal dari dua suku kata ‘pe’ artinya tempat dan ‘santren’ atau santri, tempat santri, lebih sering dikaitkan dengan tempat pendidikan agama-agama sebelum Islam yang ada di Indonesia (Hindu/Budha). Seperti dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier bahwa pesantren berasal dari kata santri. Kata ini berasal dari bahasa tamil yang berarti guru mengaji. Ada juga yang mengatakan dari katan shastri yang dalam bahasa India memiliki arti orang yang tahu buku-buku agama suci Hindu. Juga ada pendapat yang menyebutkan kata shastri ini berasal dari kata shastra yaitu buku suci, buku agama dan pengetahuan.
Nurcholis Madjid, walaupun agak berbeda sedikit dengan pendapat di atas, masih menjelaskan pesantren dari asal katanya yaitu santri, menurutnya adalah orang-orang yang melek huruf, bisa membaca kitab-kitab bahasa arab, paling tidak bisa membaca Al-Qur’an. Juga ada yang berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari bahasa jawa cantrik, yaitu orang yang selalu mengikuti seorang guru, kemanapun guru itu pergi dan menetap yang dalam tradisi pewayangan bertujuan untuk mempelajari suatu keahlian.
Dalam menjelaskan elemen yang membangun sebuah pesantren, Mastuhu menyebutkan beberapa hal yaitu kiai, pondok, masjid dan pengajaran kitab klasik. Sepertinya dari sinilah Yakhsyallah memulai penelitian tesisnya. Baginya ketika Rasulullah berada di Madinah, sebelum membangun sebuah kota yang menjadi awal peradaban Islam. Beliau telah membangun pusat pendidikan pesantrennya sendiri yang disebutnya dengan Ash-Shuffah. Bagi penulis buku ini, seluruh aktivitas Rasulullah merupakan teladan yang harus diikuti, termasuk dalam masalah pendidikan, dari tangan dingin beliaulah, lahir pribadi-pribadi unggul yang mampu mewarnai peradaban dunia, melakukan pembebasan dari kesyirikan dan penindasan dibanyak tempat. Sampai michael hart, memposisikannya diurutan pertama 100 tokoh yang mengubah dunia.
Selain faktor pribadi Rasulullah, baginya metode pengajarannya pun sangat moderen yaitu metode at-tanwi’ wa at-taghyir, atau metode bervariasi. Dengan metode ini seluruh potensi para santrinya yaitu para sahabat bisa tumbuh dan berkembang dengan maksimal. Maka betullah apa yang dikatakan KH. Imam Zarkasyi, metode lebih penting dari materi, tapi guru dan jiwa guru lebih penting dari metode dan materi.
Apabila elemen-elemen yang membangun pesantren kita qiyaskan ke dalam kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah, maka akan kita temukan bahwa Rasulullah adalah seorang kiai, para sahabat sebagai santri, Al-Qur’an dan hadits sebagai materi, masjid Nabawi sebagai tempat pendidikan dan pondokan, karena sebagian para sahabat merupakan ashabu ash-Shuffah yang tinggal di pelataran masjid Nabawi seperti Abu Hurairah, Suhaib ar-Rumi, Salman al-Farisi, Bilal bin Rabah dan banyak lagi yang lainnya.
Dalam makalahnya yang berjudul “Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam” Hamid Fahmy Zarkasyi menyebutkan dalam tradisi intelektual Islam, komunitas ilmuwan itu berkembang secara bertahap. Komunitas ilmuwan yang paling awal dan berfungsi sebagai medium transformasi ilmu pengetahuan wahyu adalah Bait al-Arqam. Namun yang lebih efektif dari itu adalah al-Suffah, yang artinya beranda atau serambil masjid dan komunitas intelektualnya disebut ashabu ash-Shuffah.
Tujuan utama ashabu ash-Shuffah adalah belajar dan mengamalkan Islam, dari sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Bagi Hamid karena objeknya adalah wahyu maka materi pembelajaran ashabu ash-Shuffah lebih luas dan kompleks. Oleh sebab itu, materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization).
Kajian Historis Pada Masa Sahabat Nabi SAW
Adapun lembaga-lembaga pendidikan pada masa nabi dan masa sahabat masih terbilang sama yaitu:
Shuffah
Pada masa Rasulullah, shuffah adalah suatu tempat yang dipakai untuk aktifitas pendidikan, demikian juga pada masa berikutnya. Biasanya tempat ini menampung santri baru yang tergolong miskin. Di sini para santri diajarkan untuk membaca dan menghafal al-qur’an secara benar. Mereka juga diajarkan Islam di bawah bimbingan langsung dari Nabi. Rasulullah mengangkat Ubaid bin al-Samit sebagi guru pada lembaga pesantren shuffah di Madinah. Dalam perkembangan selanjutnya shuffah juga menawarkan pelajaran dasar berhitung, kedokteran, astronomi, genelogi, dan ilmu fonetik.
Bidang-bidang studi yang diajarkan di pesantren Shuffah adalah al-qur’an, tajwid, dan semua ilmu-ilmu keIslaman di samping membaca dan menulis. Keberlangsungan al- Shuffah ini sangat diperhatikan oleh khulafa al-Rasyidin semisal Umar bin Khatab. Kegiatan pendidikan ini kemudian dibantu pembiayaannya dengan dana pemerintah yang tersedia (Sukarno dan Ahmad Supardi, 1985: 51). Pada masa sahabat, para guru atau pendidik yang mengajar di al-Shuffah ini adalah alumni dari lembaga al-Shuffah pertama di bawah bimbingan Nabi, seperti Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan lain sebagainya.
Kuttab / maktab
Maktab atau kuttab adalah adalah lembaga pendidikan Islam tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis kemudian meningkat pada pembelajaran al- qur’an dan pengetahuan agama tingkat dasar. Lembaga ini telah dikenal masyarakat Arab pra-Islam sebagai lembaga tempat mengajarkan pengetahuan dan keterampilan membaca dan menulis. Pada zaman Nabi, kuttab mulai dikenal pasca terjadinya perang Badar. Ketika terjadi perang Badar, ada beberapa musuh Islam yang tertawan. Tawanan yang bisa baca tulis dapat menebus dirinya dengan mengajarkan baca-tulis kepada 10 orang anak Madinah, setelah 10 orang anak-anak pandai baca tulis, tawanan itu bebas dan boleh kembali ke negerinya (Tafsir, 2005 : 59).
Halaqah
Halaqah artinya lingkaran. Artinya, proses belajar mengajar di sini dilaksanakan di mana murid-murid melingkari gurunya. Seorang guru biasanya duduk di lantai menerangkan. Kegiatan halaqah ini biasanya terjadi di masjid atau di rumah-rumah (Asrohah, 1999: 49). Lingkaran (halaqah) adalah bentuk tertua dari pengajaran Islam, sejak masa Nabi Muhammad, yang berperan memimpin kegiatan bagi para pengikutnya baik pria maupun wanita.
Majlis
Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Mulanya ia merujuk pada tempat arti tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar. Dalam majlis ini, murid yang belajar disini adalah orang dewasa, dan juga remaja. Mengenai materi yang dipelajari tetap berkisar dengan al-qur’an dan ilmu-ilmu agama.
Masjid
Semenjak berdirinya di zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun ekonomi. Namun, yang lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan masjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai sarana informasi dan penyampaian doktrin Islam.
Pada masa Nabi Muhammad Saw dan khalifah Abu Bakar Shiddiq, masjid masih berfungsi sebagai tempat ibadah dan pendidikan Islam tanpa ada pemisahan yang jelas antara keduanya hingga masa Amirul Mukminin, Umar ibn Khattab. Pada masanya, di samping atau di beberapa sudut masjid dibangun kuttab-kuttab, untuk tempat belajar anak-anak. Sejak masa inilah pengaturan pendidikan anak-anak dimulai. Hari Jum’at adalah hari libur mingguan sebagai persiapan melaksanakan shalat Jum’at. Khalifah Umar ibn Khattab mengusulkan agar para pelajar diliburkan pada waktu dzuhur hari kamis, agar mereka bersiap-siap menghadapi hari Jum’at. Usul ini kemudian menjadi tradisi hingga sekarang di berbagai pondok pesantren (Arief, 2014: 41).
Sebagai institusi pendidikan Islam periode awal, masjid menyelenggarakan kajian-kajian baik dalam bentuk diskusi, ceramah dan model pembelajaran yang memiliki bentuk atau format tersendiri. yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan masyarakat muslim pada masa itu yang pada masa-masa berikutnya terus mengalami inovasi dan pembaruan. Hasil inovasi dan pembaruan tersebut sebagai konsekwensi dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat muslim terhadap pendidikan Islam yang terus mengalami perubahan dan peningkatan.
Awal Perkembangan di Indonesia
Pondok pesantren merupakan salah satu bentuk pendidikan Islam yang memiliki akar sejarah panjang dan bisa dikatakan sebagai embrio dari jenis-jenis pendidikan yang berkembang saat ini di Indonesia. Pondok pesantren dengan karakteristik kulturalnya memiliki potensi tersendiri dalam menjawab tantangan global dalam kaitannya dengan pelestarian budaya asli bangsa. Sebagai sebuah bentuk pendidikan paling tua di Indonesia, secara historis ia telah teruji mampu mempertahankan eksistensinya di tengah dinamika pendidikan yang senantiasa berubah dan berkembang (Fahrurrozi, 2014:1).
Berdasarkan PP No 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, bagian kesatu Pendidikan Keagamaan Islam pasal 14 ayat (1) menyebutkan bahwa pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren. Serta, pada ayat (3) menyebutkan Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/ atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Pada Paragraf 3 pasal 26, ayat(1) menjelaskan tentang penyelenggaraan pendidikan oleh Pesantren dengan tujuan menanamkan keimanan, dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/ atau menjadi muslim yang memiliki keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat, ayat (2) menjelaskan penyelenggaraan pendidikan diniyah oleh Pesantren, dan ayat (3) memberikan penjelasan tentang peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang diakui keahliannya dan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pengertian Pesantren
Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pesantren adalah tempat di mana dimensi ekstorik (penghayatan secara lahir) Islam diajarkan, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu. Setelah Islam masuk dan tersebar di indonesia, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya istilah mengaji, langgar, atau surau di Minangkabau, Rangkang di Aceh bukan berasal dari istilah Arab, melainkan India. Namun bila kita menengok waktu sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan tradisioanal di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan pondok, barangkali istilah pondok berasal dari kata Arab funduq, yang berarti pesangrahan atau penginapan bagi para musafir.
Ada juga yang menyebutkan bahwa pesantren mengandung makna ke-Islaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata “pesantren” mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren, sedangkan kata “santri” diduga berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti “melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi. Dari sini kita memahami bahwa pesantren setidaknya memiliki tiga unsur, yakni; Santri, Kyai dan Asrama. Banyak dari kalangan yang memaknai pesantren dengan bentuk fisik pesantren itu sendiri, berupa bangunan-banguan tradisional, para santri yang sederhana dan juga kepatuhan mutlak para santri pada kyainya, atau disisi lain, tidak sedikit yang mengenal pesantren dari aspek yang lebih luas, yaitu peran besar dunia pesantren dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia, begitu pula begitu besarnya sumbangsih pesantren dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan.
Selain itu juga menyebutkan bahwa kata pesantren yang berasal dari akar kata santri dengan awalan "Pe" dan akhiran "an" berarti tempat tinggal para santri. Para ahli berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti Guru mengaji. Potret Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal. Disamping itu juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Biasanya komplek pesantren dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi arus keluar masuknya santri.
Dari aspek kepemimpinan pesantren kyai, karena kiyai memiliki kedudukan yang tak terjangkau, tak dapat sekolah dan masyarakat memahami kagungan Tuhan dan rahasia alam. memegang kekuasaan yang hampir-hampir mutlak. Tegasnya Kiyai adalah tempat bertanya atau sumber referensi, tempata menyelesaikan segala urusan dan tempat meminta nasihat dan fatwa. Pondok, Masjid, santri, kyai dan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan lima elemen dasar yang dapat menjelaskan secara sederhana apa sesungguhnya hakikat pesantren. Sehingga dengan demikian dari asal kata, maka dapat kita ambil benang merah mengenai pengertian pesantren secara istilah yakni, pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam yang menampung sejumalah santri maupun santriwati dalam rangka mempelajari ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan seorang kyai.
Sejarah Lahirnya Pesantren
Dalam catatan sejarah, Berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kiyai yang menetap (bermukim) di suatu tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar kepadanya. Sedangkan biaya kehidupan dan pendidikan disediakan bersama-sama oleh para santri dengan dukungan masyarakat di sekitarnya. Hal ini memungkinkan kehidupan pesantren bisa berjalan stabil tanpa dipengaruhi oleh gejolak ekonomi di luar. Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Karena itu Pondok pesantren adalah salah satu tempat berlangsungnya intraksi antara guru dan murid, kiyai dan santri dalam intensitas yang relatif dalam rangka mentransfer ilmu-ilmu keislaman dan pengalaman. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Tallo, Sulawesi.
Dikatakan Pesantren Ampel yang didirikan oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim, merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel. Sejarahnya, misalnya Pesantren Giri di Gresik bersama institusi sejenis di Samudra Pasai telah menjadi pusat penyebaran ke-Islaman dan peradaban ke berbagai wilayah Nusantara. Pesantren Ampel Denta menjadi tempat para wali yang mana kemudian dikenal dengan sebutan wali songo atau sembilan wali menempa diri. Dari pesantren Giri, santri asal Minang, Datuk Sri Bandang, membawa peradaban Islam ke Makassar dan Indonesia bagian Timur lainnya, lalu melahirkan Syekh Yusuf, ulama besar dan tokoh pergerakan bangsa. Mulai dari Makassar, Banten, Srilanka hingga Afrika Selatan. Di lihat dari sejarahnya, pesantren memiliki usia yang sama tuanya dengan Islam di Indonesia. Syaikh Maulana Malik Ibrahim dapat dikatakan sebagai peletak dasar-dasar pendidikan pesantren di Indonesi. Pesantren pada masa awal pendiriannya merupakan media untuk menyebarkan Islam dan karenanya memiliki peran besar dalam perubahan social masyarakat Indonesia.
Pada masa awal perkembangan Islam di Nusantara, perhatian pemerintah kerajaan Islam terhadap berkembangnya pendidikan Islam cukup besar. Namun pada masa VOC maupun pemerintahan Hindia Belanda kondisi ini berubah. Masyarakat Islam yang taat seakan-akan diasingkan. Para ulama dijauhkan dari masyarakat karena dianggap membawa potensi terjadinya “kerusuhan”. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah kolonial terhadap jamaah haji. Pemerintah mempersulit keberangkatan para jamaah haji Nusantara dengan berbagai kebijakan dan berusaha mencegah mereka pulang ke tanah airnya. Pada akhirnya Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam cenderung menyingkir dari pengaruh-pengaruh pemerintah. Dari posisi pendiriannyapun nampak bahwa pesantren menjauh dari pusat pemerintahan. Dari sinilah pesantren kemudian berjuang untuk mempertahankan diri secara mandiri.
Pesantren terbentuk melalui proses yang panjang. Diawali dengan pembentukan kepemimpinan dalam masyarakat. Seorang Kyai sebagai pemimpin pesantren tidaklah muncul dengan begitu saja. Kepemimpinan Kyai muncul setelah adanya pengakuan dari masyarakat. Kyai menjadi pemimpin informal di kalangan rakyat karena dianggap memiliki keutamaan ilmu. Maka Kyai menjadi rujukan dan tempat bertanya, tidak saja mengenai agama tetapi juga mengenai maslaha-masalah sosial kemasyarakatan. Hal ini pulalah yang kemudian menciptakan budaya ketundukan dan ketaatan santri dan masyarakat terhadap pesantren. Dari terbentuknya kepemimpinan Kyai, yang menjadi rujukan masyarakat sebuah sistem pendidikan masyarakat terbentuk. Masyarakat menjadikan Kyai sebagai guru dan belajar apa saja yang dikuasainya. Fasilitas-fasilitas yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah apa saja yang ada di sekitarnya.
Pada tahapan awal pembentukan pesantren, umumnya masjid menjadi pusat pendidikan bagi masyarakat. Di masjidlah kegiatan pembelajaran dilakukan. Pada perkembangan selanjutnya pesantren dilengkapi dengan pondok atau tempat tinggal santri. Pembangunan fasilitas-fasilitas pesantren dipimpin oleh Kyai, dengan bantuan masyarakat sekitarnya. Masyarakat dengan sukarela mewakafkan tanahnya, menyumbangkan dana atau material yang diperlukan, hingga menyumbangkan tenaga. Pada intinya masyarakat memberikan apa yang dapat diberikannya. Hal semacam ini masih sering terjadi di pesantren- pesantren hingga saat ini. Dalam kaitan ini, pesantren Mambaul ulum di Surakarta mengambil tempat yang terdepan dalam merambah bentuk respon pesantren terhadap ekspansi pendidikan Belanda dan pendidikan modern Islam.
Di awal Abad 19, Kiai Basari dari Pesantren Tegalrejo-Ponorogo mengambil peran besar. Pesantren ini menempa banyak tokoh besar seperti Pujangga Ronggowarsito. Pada akhir abad itu, posisi serupa diperankan oleh Kiai Kholil, Bangkalan-Madura. Dialah yang mendorong dan merestui KH Hasyim Asy’ari atau Hadratus Syeikh , santrinya dari pesantren Tebu Ireng Jombang, untuk membentuk Nahdlatul Ulama (NU). NU pun menjadi organisasi massa Islam terbesar dan paling berakar di Indonesia.
Di jalur yang sedikit berbeda, rekan seperguruan Hadratus Syeikh di Makkah, KH. Ahmad Dahlan pun mengambil peran yang kemudian mempengaruhi kelahiran “pesantren moderen” seperti Pondok Gontor-Ponorogo yang berdiri pada tahun 1926. Pondok ini selain memasukkan sejumlah mata pelajaran umum kedalam kurikulumnya, juga mendorong para santrinya untuk mempelajari bahasa Inggris selain bahasa Arab dan melaksanakan sejumlah ekstra kurikuler seperti olah raga, kesenian dan sebagainya.
Dahulu kesederhanaan pesantren sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekadar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari para santri, mereka bersama- sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.
Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab turost (warisan ulama klasik) atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Hal itu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar menenyebut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”. Seiring perkembangan pesantren yang semakin pesat serta di banjirinya kitab-kitab agama berbahasa arab, maka secara umum model pembelajaran yang digunakan adalah dengan mengambil bentuk halaqah seperti yang berlaku di Basrah dan Baghdad.
Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan sang Kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.
Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian Jawa Tengah dan Timur.
Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami reformasi, meski beberapa materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi telah terjadi pembenahan. Contoh bentuk terakhir ini terdapat pada Pondok Pesantren Tebu Ireng dan Tegalrejo. Setelah Indonesia merdeka, pesantren banyak menyumbangkan tokoh-tokoh penting dalam pemerintahan Indonesia, sebut saja Mukti Ali yang dahulu pernah menjabat sebagai Menteri Agama, M Natsir dan yang lebih terpenting lagi, dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presidan Indonesia yang keempat, adalah juga mewakili tokoh yang muncul dari kalangan pesantren. Ketahanan yang ditampilkan pesantren dalam menghadapi laju perkembangan zaman, menunjukkan sebagai suatu lembaga pendidikan, pesantren mampu berdialog dengan zamannya, yang pada gilirannya hal tersebut mampu menumbuhkan harapan bagi masyarakat pada umumnya, bahwa pesantren dapat dijadikan sebagai lembaga pendidikan alternatif pada saat ini dan masa depan.
Perkembangan Pesantren di Indonesia
Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, yang berkaitan erat dengan pertumbuhan gagasan modernisasi Islam di kawasan ini, mempengaruhi dinamika keilmuan dilingkungan pesantren. Bahkan sejumlah pesantren bergerak lebih maju lagi. Berkaitan dengan gagasan tentang “kemandirian” santri telah menyelesaikan pendidikan mereka di pesantren, beberapa pesantren memperkenalkan semacam kegiatan atau latihan keterampilan dalam sistem pendidikan mereka. Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi kepada dua periodisasi; Pertama, Ampel (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan secara komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang mencerminkan kemoderenan dalam sistem, metode dan fisik bangunan. Periodisasi ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Ampel dan Gontor.
Sebelum Ampel muncul, telah berdiri pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Demikian juga halnya dengan Gontor, sebelumnya telah ada yang justru menjadi cikal bakal Gontor, pesantren Tawalib, Sumatera. Pembagian di atas didasarkan pada besarnya pengaruh kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia.
Sifat kemoderenan Gontor tidak hanya terletak pada bentuk penyampaian materi yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di perguruan tinggi, tapi juga pada gaya hidup. Hal ini tercermin dari pakaian santri dan gurunya yang mengenakan celana dan dasi. Berbeda dengan aliran Ampel yang sarungan dan sorogan. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat para Kyai salaf menekankan perasaan anti kolonial pada setiap santri dan masyarakat, hingga timbul fatwa bahwa memakai celana dan dasi hukumnya haram berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (golongan), maka dia termasuk golongan itu”.
Dalam hal ini, Gontor telah berani melangkah maju menuju perubahan yang saat itu masih dianggap tabu. Namun demikian bukan tidak beralasan. Penggunaan dasi dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk mendobrak mitos bahwa santri selalu terbelakang dan ketinggalan zaman. Prinsip ini tercermin dengan masuknya materi bahasa inggris menjadi pelajaran utama setelah bahasa Arab dan agama, dengan tujuan agar santri dapat Beberapa reformasi dalam sistem pendidikan pesantren yang dilakukan Gontor antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal. Di antaranya: tidak bermazhab, penerapan organisasi, sistem kepimimpinan sang Kyai yang tidak mengenal sistem waris dan keturunan, memasukkan materi umum dan bahasa Inggris, tidak mengenal bahasa daerah, penggunaan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar dan percakapan, olah raga dengan segala cabangnya dan lain-lain. Oleh karena itu Gontor mempunayi empat prinsip, yaitu: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpikiran bebas dan berpengetahuan luas.
Langkah-langkah reformasi yang dilakukan Gontor pada gilirannya melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan duduknya para alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemertintah maupun swasta. Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang kemerdekaan dan mereka yang memenuhi kebutuhan lokal, maka Gontor telah memenuhi kebutuhan di segala sendi kehidupan di negeri ini. Atas dasar itu pula penulis membagi sejarah sistem pendidikan pesantren kepada dua fase; fase Ampel dan fase Gontor. Satu persamaan yang dimilki dua madzhab ini adalah bahwa kedua-duanya tidak mengeluarkan ijazah negeri kepada alumninya, dengan keyakinan bahwa pengakuan masyarakatlah sebagai ijazahnya.
Langkah reformasi di atas tidak berarti Gontor lebih unggul di segala bidang, terbukti kemampuan membaca kitab kuning (turost) masih dikuasai alumni mazhab Ampel dibanding alumni mazhab Gontor. Pendapat lain seiring perkembangan yang terjadi mengemukakan perkembangan pesantren di bagi menjadi beberapa berdasarkan tipologinya yakni “Pesantren Tradisional (salaf), dan Pesantren Moderen (kalaf), pesantren dengan pendidikan formal, pesantren yang dibedakan berdasarkan jumlah santrinya, pesantren yang memiliki afiliansi atau tidak sama sekali terhadap salah satu ormas, pesantren yang menampung santri mukim dan santri kalong, dan pesantren pedesaan dan perkotaan.
Epilog
Berdasarkan pembahasan di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Secara historis, pesantren telah ada sejak masa Rasululloh SAW dan sahabat, kendati nama pondok atau pesantren pada masa itu masih belum. Namun, secara praktek maka pesantren itu sudah ada bersamaan dengan kemunculan ajaran Islam itu sendiri. Kata Pesantren lebih dikenal dengan sebutan pondok, istilah pondok berasal dari kata Arab “funduq”, yang berarti pesangrahan atau penginapan bagi para musafir. Ada juga yang menyebutkan bahwa pesantren mengandung makna ke-Islaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata “pesantren” mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren, sedangkan kata “santri” diduga berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti “melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi. Selain itu juga menyebutkan bahwa Kata pesantren yang berasal dari akar kata santri dengan awalan "Pe" dan akhiran "an" berarti tempat tinggal para santri. Para ahli berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti Guru mengaji, dari sini kita memahami bahwa pesantren setidaknya memiliki tiga unsur, yakni; Santri, Kyai dan Asrama. Sehingga dengan demikian dari asal kata, maka dapat kita ambil benang merah mengenai pengertian pesantren secara istilah yakni, pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan islam yang menampung sejumalah santri maupun santriwati dalam rangka mempelajari ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan seorang kyai.
Sejarah munculnya pesantren awalnya berasal dari kebudayaan Hindu Budha yang di bawah dari india, seiring masuknya Islam dan banyaknya masyarakat yang menganut agama Islam kemudian mengalami penetrasi proses penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh agama Hindu Budha, diadopsi dan dijadikan sebagai sistem pendidikan islam yang baru. Selain itu menurut catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Tallo, Sulawesi. Di katakan Pesantren Ampel yang didirikan oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim, merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel. Pesantren Ampel Denta menjadi tempat para wali yang mana kemudian dikenal dengan sebutan wali songo atau sembilan wali menempa diri. Dari pesantren Giri, santri asal Minang, Datuk Sri Bandang, membawa peradaban Islam ke Makassar dan Indonesia bagian Timur lainnya. Makassar lalu melahirkan Syekh Yusuf, ulama besar dan tokoh pergerakan bangsa. Mulai dari Makassar, Banten, Srilanka hingga Afrika Selatan.
Seiring dengan perkembangan zaman, pesantrenpun menjadi pusat pendidikan yang banyak diminati oleh masyarakat selain karena pesantren menawarkan sistem pendidikan yang serba sederhana juga karena pesantren banyak memberikan manfaat yang banyak bagi masyarakat, dan disebabkan zaman karena itulah maka pesantren mulai mengalami perkembangan yang pesat, sehingga dibagi menjadi dua periodesisasi; Periode Ampel (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan secara komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang mencerminkan kemoderenan dalam sistem, metode dan fisik bangunan.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000.
Agil Siraj, Said, Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Nata, Abuddin. MA, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2001.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3S, 1995.
Munir, Ahmad Warson., Kamus Arab Indonesia Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Rahim Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta; PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
Azra, Azyumardi Esei-esei intlektual Muslim Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, Jakarta Selatan; Teraju, 2003.
Daud Ali, Muhammad, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Fatah dan Ismail, Dinamika pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.